A.
Kondisi Masyarakat Indonesia pada Awal Revolusi fisik
Laksamana Patterson
(komandan garis belakang Skuadron Tempur kelima Inggris) pada tanggal 29
september 1945 mengumumkan bahwa pasukan-pasukan sekutu datang untuk melindungi
rakyat dan untuk memulihkan keamanan dan ketertiban hingga pemerintah Hindia
Belanda yang berwenang berfungsi kembali. Pada hari yang sama, letnan jenderal Sir
Philip Christison (panglima sekutu untuk Hindia Belanda) mengumumkan bahwa
pasukan jepang di jawa sementara harus dipakai untuk memulihkan keamanan dan
ketertiban. Pengumuman ini segera diikuti oleh pendaratan kontinen-kontinen
kecil pasukan Belanda dibawah perlindungan Inggris (Kahin, 1995: 180).
Aktivitas pasukan
Ingris yang terus mendarat dibawah perlindungan inggris dan
pengumuman-pengumuman inggris yang kurang tegas, secara bersama-sama
menunjukkan kepada kebanyakan orang Indonesia, bahwa pernyataan tegas
kemerdekaan mereka sedang ditantang dan ini memancing reaksi mereka yang tajam.
Komando sekutu memerintahkan para komandan jepang untuk menyerang dan merebut
kembali kota-kota yang sudah dikuasai orang Indonesia, seperti Bandung.
Dipakainya pasukan jepang oleh sekutu untuk melawan republic selanjutnya
mendorong orang Indonesia untuk melawan Inggris sekaligus Belanda, dan
memperkuat kecurigaan mereka bahwa Indonesia ingin dikembalikan kepada status
penjajahan (kahin, 1995: 182).
Meskipun Inggris
dilengkapi dengan pesawat-pesawat terbang dan meriam dalam pertempuran yang
lama dan pahit serta akhirnya menguasai kota, perang itu tetap dan masih
dianggap suatu kemenangan oleh orang Indonesia, karena pertempuran Surabaya
adalah titik balik dalam perjuangan kemerdekaan mereka. Ini merupakan suatu
demonstrasi di hadapan inggris tentang kekuatan berperang dan kesediaan
mengorbankan jiwa raga yang ada di balik gerakan yang sedang ditentang inggris
itu (Kahin, 1995: 182). Pertempuran di Surabaya membuka jalan bagi diadakannya
perundingan-perundingan diplomatik selama tahun 1946 dan awal tahun 1947 antara
Belanda dan Indonesia.
Sebenarnya pada masa
ini adalah saat ketiga kalinya Belanda bermaksud menaklukan Indonesia. Usaha
yang pertama, pada abad XVII dan XVIII, telah berakhir dengan penarikan mundur
di pihak mereka dalam menghadapi perlawanan
bangsa Indonesia serta ketidakcakapan mereka sendiri, dan akhirnya
dengan dikalahkannya mereka oleh pihak inggris. Yang kedua, yaitu pada abad XIX
dan awal abad abad XX, telah berakhir dengan dikalahkannya mereka oleh pihak jepang.
Dan masa ini adalah percobaan untuk ketiga kalinya, pada masa ini masyarakat
lebih bersatu dari sebelumnya. Akan tetapi, sistem perhubungan yang buruk,
perpecahan-perpecahan internal, lemahnya kepemimpinan pusat, dan perbedaan
kesukuan mengandung arti bahwa sebenarnya revolusi tersebut merupakan suatu
kejadian yang terpotong-potong.
B.
Kondisi
Sosial-Budaya pada Masa Revolusi Fisik
Dengan mulai tibanya
pihak sekutu guna menerima penyerahan jepang, maka semakin meningkatlah
ketegangan-ketegangan di jawa dan sumatera serta mendorong orang-orang yang
sepenuh hati mendukung Republik untuk berbalik melawan. Atas nama ‘kedaulatan
rakyat’ para pemuda revolusioner mengintimidasi, menculik, dan kadang-kadang
membunuh para pejabat pemerintahan, kepala-kepala desa, dan anggota-anggota
polisi yang kesetiaannya disangsikan, atau yang dituduh melakukan korupsi,
pencatutan, atau penindasan selama pendudukan jepang. Dalam kekacauan ini
tindakan-tindakan atas nama kedaulatan kadang-kadang sulit dibedakan dari
tindakan-tindakan perampokan, perampasan, pemerasan, dan pembalasan dendam
semata. “Semangat merdeka
menyala-nyala, sehingga menyebabkan mereka kurang dapat mengendalikan diri.”
(Moedjanto, 1993:100).
Surabaya menjadi ajang
pertempuran yang paling hebat selama revolusi, sehingga menjadi lambang
perlawanan nasional. Soetomo, orang yang lebih dikenal dengan Bung Tomo
meggunakan radio setempat untuk menimbulkan suasana revolusi yang fanatik ke
seluruh penjuru kota. Di kota yang sedang bergolak ini kira-kira 6.000 pasukan
inggris yang terdiri dari serdadu-serdadu india tiba pada tanggal 2 Oktober
untuk mengungsikan para tawanan. Sekitar 2.000 TKR yang baru saja terbentuk dan
sebanyak kurang lebih 120.000 orang dari badan-badan perjuangan siap untuk
membantai prajurit-prajurit India tersebut, meskipun persenjataan mereka sangat
tidak memadai. Pada tanggal 30 oktober diadakanlah gencatan senjata. Akan
tetapi pertempuran meletus lagi dan panglima pasukan inggris setempat,
brigadier jenderal A.W.S. Mallaby terbunuh. Pada tanggal 10 November subuh,
pasukan-pasukan inggris memulai suatu aksi pembersihan berdarah sebagai hukuman
di seluruh pelosok kota di bawah lindungan pengeboman dari udara dan laut,
dalam menghadapi perlawanan Indonesia yang fanatik. Ribuan rakyat Indonesia gugur
dan ribuan lainnya meninggalkan ota yang hancur tersebut.
Pihak republik kehilangan banyak tenaga manusia dan
senjata dalam pertempuran Surabaya, tetapi perlawanan mereka yang bersifat
pengorbanan tersebut telah menciptakan suatu lambang dan pekik persatuan demi
revolusi. Banyak orang Belanda telah benar-benar merasa yakin bahwa Republik
hanya mewakili segerombolan kolaborator yang tidak mendapat dukungan
rakyat. Tak seorangpun pengamat yang
serius dapat mempertahankan anggapan seperti itu. Kepercayaan kekebalan,
ramalan-ramalan dan tradisi-tradisi pribumi lain, mendalamnya
ketegangan-ketegangan sosial pribumi atau daya tarik kekerasan bagi rakyat
Indonesia, membuat gagasan mengenai suatu revolusi sosialis internasional yang
akan bersifat demokratis, anti bangsawan, dan anti fasis sulit diterapkan di
Indonesia.
Keadaan di dalam
republik di jawa pada tahun 1948 sangat gawat. Kekuasaan republik secara
efektif terdesak ke wilayah pedalaman Jawa Tengah yang sangat padat peduduknya
dan kekurangan beras, dimana penderitaan semakin meningkat sebagai akibat blokade
belanda dan masuknya sekitar enam juta pengungsi dan tentara republik.
Pemerintah Republik mencetak lebih banyak uang lagi untuk menutup biaya
sehingga inflasi pun melonjak. Akan tetapi, tindakan ini bukannya tanpa
akibat-akibat yang menguntungkan. Dengan meningkatnya inflasi dan harga beras,
maka meningkat pula penghasilan para petani dan sebagian besar hutang mereka
dapat dilunasi, sementara penghasilan para pekerja merosot.
Pada tanggal 29 Agustus
1947 secara sepihak mereka memproklamirkan apa yang dinamakan “garis van mook”.
Menurut garis Van Mook, republik itu dibatasi hingga lebih sedikit dari
sepertiga wilayah jawa – wilayah tengah bagian timur (dikurangi pelabuhan-pelabuhan
parairan laut-dalam) dan ujung yang paling utara dari pulau itu. Separuh
Madura, dan bagian paling luas tetapi paling miskin dari Sumatera.
Garis van Mook
menyingkirkan Republik itu dari wilayah-wilayah pertanian paling subur di Jawa
maupun sumatera. Akan tetapi khusus di Jawa, situasinya sangat gawat. Wilayah
yang tetap dikuasai Republik merupakan wilayah yang kekurangan pangan dengan
produksi beras perkapita diperkirakan oleh pemerintah hanya 62,6 kuintal
dibandingkan dengan 85,9 kuintal di daerah-daerah yang dikuasai Belanda. Di
samping itu, daerah yang tersisa untuk republic ini didiami penduduk sejumlah
23 juta orang yang kemudian ditambah lebih dari 700 ribu pengungsi dari
daerah-daerah yang dikuasai Belanda (kahin, 1995: 278).
Pola makan yang berubah,
pola hidup yang berubah serta tekanan-tekanan sosial ekonomi yang menghimpit
menyebabkan perubahan mendasar dalam aspek-aspek fisik maupun psikologi
masyarakat. Dalam aspek fisik nyata terlihat kemiskinan endemis yang makin
meluas, kesehatan yang merosot serta angka kematian yang tinggi. Dalam apek
nonfisik, terlihat kemiskinan mentalitas akibat rongrongan dan ketakutan yang
tidak proporsional. Kegelisahan komunal dan ketidaktentraman cultural yang
makin meningkat frekuensinya. Dapat dikatakan bahwa keadaan petani dan
masyarakat pedesaan di jawa berada dalam tingkat yang sangat buruk. Oleh Scott
disebut sebagai “subsistence level”,
yaitu tingkat pemenuhan kebutuhan diri sendiri. Pemikiran yang digunakan adalah
bagaimana mereka dapat sekedar bertahan hidup, dalam situasi yang makin
memburuk dan suasana yang makin tak menentu kapan akan berakhir (Cahyo Budi,
1995: 192-193).
Di sumatera, terjadi
revolusi-revolusi sosial yang keras dan menentang elite-elite bangsawan. Di
aceh prmusuhan sengit antara para pemimpin agama (ulama) dan para bangsawan
birokrat (uleebalang) mengakibatkan timbulnya suatu perubahan yang permanen di
tingkat elite. Banyak uleebalang yang mengharapkan kembalinya Belanda, dan
puncaknya meletuslah perang saudara. Para uleebalang gagal untuk melaksanakan
suatu perlawanan terpadu terhadap kekuatan-kekuatan pro-republik yang dipimpin
oleh para ulama. Aceh dengan ideology islam, menjadi wilayah yang paling stabil
di Indonesia selama masa revolusi.
Di sumatera timur,
kelompok-kelompok bersenjata yang sebagian besar terdiri dari orang-orang batak
dan dipimpin oleh kaum kiri, menyerang raja-raja batak pada bulan maret 1946.
Penangkapan-penangkapan dan perampokan-perampokan terhadap para raja segera
berubah menjadi pembantaian yang mengakibatkan tewasnya beratus-ratus bangsawan
sumatera Timur, diantaranya adalah Amir Hamzah. Para politisi republik setempat
serta satuan-satuan tentara setempat menentang tindak kekerasan ini, dan pada
akhir bulan April para pemimpin terkemuka revolusi sosial berdarah ini
ditangkap, tetapi sebagian dapat menyelamatkan diri dalam persembunyian.
Perpecahan-perpecahan di dalam tubuh/kekuatan-kekuatan revolusi di sumatera
timur tampak jelas dengan penindasan terhadap revolusi sosial tersebut.
Semetara itu, perpecahan di kalangan elite revolusi di jawa menjadi semakin
tegang ketika partai-partai politik terbentuk. Partai-partai yang penting pada
masa revolusi diantaranya: PKI (Partai komunis Indonesia), Pesindo (pemuda
sosialis indonesia), Masyumi, dan PNI (partai nasional Indonesia).
Semangat revolusi juga
terlihat di dalam kesusastraan dan kesenian. Surat-surat kabar dan
majalah-majalah republik bermunculan di banyak daerah, terutama di Jakarta,
Yogyakarta dan Surakarta. Keseluruhan suatu generasi satrawan pada umumnya
dinamakan angkatan 45, yaitu orang-orang yang daya kreatifnya memuncak pada
zaman revolusi.
DAFTAR
PUSTAKA
Kahin,
George McTurnan. 1995. Nasionalisme dan
Revolusi di Indonesia. Surakarta: UNS Press.
Moedjanto.
1993. Indonesia Abad ke-20.
Yogyakarta: Kanisius.
Ricklefs.
1991. Sejarah Indonesia Modern.
Yogyakarta: Gajah Mada University Press.
Utomo,
Cahyo Budi. 1995. Dinamika Pergerakan
Kebangsaan Indonesia. Semarang: IKIP Semarang Press.
Mantaps Broo Info nya.
BalasHapusGue demen bgt. Sukses ya Broo . . .