"Menulislah Jika Kau Tidak Ingin Terhapuskan Dalam Arus Sejarah Umat Manusia"

Rabu, 22 Februari 2012

REORIENTASI STRATEGI DAN REORGANISASI PERGERAKAN KEBANGSAAN INDONESIA (1930-1942)


            Dalam sejarah pergerakan kebangsaan Indonesia, dikenal dua strategi politik organisasi kebangsaan dalam kaitannya untuk mewujudkan Indonesia merdeka. Dua strategi tersebut yaitu non-kooperatif (radikal) dan kooperatif (moderat). Radikal bisa diartikan sebagai satu tindakan penentangan secara keras dan represif terhadap kebijakan pemerintah kolonial serta tidak mau bekerja sama dengan pemerintah kolonial untuk mencapai kemerdekaan, dalam hal ini kaum radikal berpendapat bahwa untuk mencapai Indonesia merdeka haruslah dengan jerih payah anak bangsa sendiri dan bukan atas adanya campur tangan dari bangsa asing (Belanda). Sedangkan moderat bisa diartikan sebagai satu sikap lunak atas keberadaan pemerintah kolonial (Belanda) di Indonesia. Kaum moderat berpandangan bahwa untuk mencapai Indonesia merdeka tidak dapat lepas dari kerja sama dengan berbagai bangsa yang ada di Indonesia saat itu, tidak terkecuali dengan pemerintah kolonial (Belanda). Adanya dua strategi ini bukan semata-mata melambangkan dua kubu yang berbeda pandangan dalam mensikapi keberadaan pemerintah kolonial, walaupun berbeda prinsip namun dua kelompok ini sama dalam tujuan akhir, yaitu untuk mewujudkan Indonesia merdeka.

            Pada masa-masa awal kebangkitan nasional, strategi radikal banyak dianut oleh organisasi-organisasi kebangsaan Indonesia. Namun setelah tahun 1930 banyak organisasi yang semula bersifat radikal menjadi lebih moderat. Hal ini terjadi bukan tanpa alasan yang jelas, perubahan haluan ini dipengaruhi juga oleh perkembangan dinamika politik di Indonesia pada tahun 1930-an.
            Pada masa awal 1930-an  pergerakan kebangsaan Indonesia mengalami masa krisis. Keadaan yang seperti ini disebabkan oleh beberapa hal, yaitu:
1.      Adanya krisis malaise tahun 1929/1930
2.      Adanya pembatasan hak untuk berserikat dan berkumpul yang diberlakukan oleh pemerintah kolonial terhadap organisasi-organisasi kebangsaan
3.      Adanya hak istimewa seorang Gubernur Jenderal Hindia Belanda dalam mensikapi keberadaan organisasi kebangsaan, dalam hal ini tanpa proses pengadilan seorang Gubernur  Jenderal dapat memutuskan apakah satu organisasi kebangsaan tersebut bertentangan dengan  hukum dan perundang-undangan atau tidak
4.      Banyaknya tokoh-tokoh pergerakan yang diasingkan
Ancaman dan tekanan yang terus menerus diberikan pemerintah kolonial terhadap organisasi-organisasi kebangsaan dan tokoh-tokoh pergerakan pada masa itu, merupakan sebagian sebab mengapa pergerakan kebangsaan Indonesia pada tahun1930-an tidak dapat bersifat demikian radikal, malah sebaliknya bersikap lunak terhadap pemerintah kolonial. Pada tahun 1930-an pemerintah kolonial Belanda telah mengefisienkan alat-alat represif dan preventifnya terhadap pergerakan kebangsaan.
Pemerintah kolonial tidak hendak mematikan pergerakan kebangsaan Indonesia. Pemerintah kolonial mengetahui bahwa aspirasi rakyat yang tidak tersalurkan dapat menimbulkan gerakan-gerakan eksplosif yang tidak diinginkan (gerakan sosial).  Pemerintah kolonial pada dasarnya hanya hendak melemahkan aktivitas pergerakan kebangsaan, khususnya pergerakan kebangsaan yang dinilai radikal-revolusioner. Yang diharapkan oleh pemerintah kolonial adalah semacam nasionalisme yang lunak dan kompromis.
Atas dasar itulah akhirnya banyak organisasi kebangsaan mengubah haluan dari non-kooperasi menjadi kooperasi. Berkembangnya faham fasisme di Eropa serta politik ekspansionisme yang tengah dilancarkan oleh pemerintah militer Jepang sedikit banyak juga telah memberikan pengaruh terhadap pengubahan haluan organisasi kebangsaan Indonesia. Baik di negeri Belanda maupun di Indonesia kaum nasionali menyadari bahwa untuk menangkal fasisme tersebut tidak ada cara lain kecuali memihak demokrasi. Sehingga dengan demikian dapat disimpulkan bahwa perkembangan politik dunia juga berpangaruh terhadap perkembangan dinamika politik di Indonesia pada tahun 1930-an.
Dalam kerangka politik kooperatif, arena politik memang sudah tertutup rapat bagi aktivitas yang sifatnya aksi massa, tetapi ruang gerak masih leluasa untuk membangkitkan kesadaran nasional serta gerakan-gerakan atau aksi-aksi yang dapat mengkonsolidasi solidaritas dalam dan antar partai/organisasi kebangsaan.
Dalam masa dari tahun 1935-1942, partai-partai politik Indonesia menjalankan taktik-taktik parlementer yang moderat. Salah satu wujud pergerakan dengan cara kooperatif (menggunakan taktik-taktik parlementer) yang dilakukan oleh organisasi kebangsaan di Indonesia dilakukan melalui dewan rakyat (volksraad). Dengan demikian, satu-satunya cara bagi gerakan nasionalis untuk melakukan perubahan ialah dengan jalan mempengaruhi pemerintah kolonial secara langsung melalui dewan perwakilan tersebut, dan tidak dengan mengatur dukungan massa. Beberapa bukti dari pergerakan parlementar ini adalah :
1.      Petisi Soetardjo (15 Juli 1936)
Ialah suatu permohonan supaya dilakukan suatu musyawarah antara wakil-wakil Indonesia dan wakil-wakil dari negeri Belanda, yang anggotanya mempunyai hak-hak yang sama. Tujuannya adalah memberikan kepada Indonesia suatu pemerintahan yang berdiri sendiri. Pelaksanaannya akan dilakukan secara berangsur-angsur dalam waktu sepuluh tahun.
2.      Gabungan Politik Indonesia (GAPI)
Dengan bersembiyan pada “Indonesia Berparlemen”, pada tanggal 4 Juli 1939 GAPI menyelenggarakan suatu konferensi kebangsaan. Tanggal 20 Mei 1939 GAPI mengeluarkan manifest GAPI, yang mana isinya adalah ajakan untuk segenap rakyat Indonesia dan negeri Belanda untuk bekerja sama melawan fasisme.
3.      Mosi Thamrin
Mosi ini berisi suatu usulan dari Thamrin agar istilah-istilah asing yang ada di Indonesia diganti dengan istilah-istilah yang lebih bersifat ke-Indonesia-an, terutama dalam dokumen-dokumen pemerintah.
            Dalam menanggapi berbagai bentuk petisi dan mosi dari Volksraad , ternyata sikap pemerintah kolonial sangat mengecewakan. Akibatnya gerakan nasionalis semakin menyadari bahwa tidak dapat lagi menaruh harapan kepada pemerintah kolonial. Tanpa disadari sikap konservatif Belanda dengan politik pembekuan perkembangan politik, semakin menumbuhkan kesadaran bangsa Indonesia akan solidaritas nasional.

Daftar Referensi
1. Sejarah  Indonesia Jilid VI
2. Sejarah Pergerakan Nasional Jilid 1 & 2

2 komentar:

  1. makasih referensinya. dikembangkan lagi gan

    BalasHapus
  2. Mantaps Broo Info nya.
    Gue demen bgt. Sukses ya Broo . . .

    BalasHapus