"Menulislah Jika Kau Tidak Ingin Terhapuskan Dalam Arus Sejarah Umat Manusia"

Minggu, 19 Februari 2012

BALADA SORE LE’ MAN


Senja semakin jingga, mataharipun bersiap kembali ke peraduan, burung camar tergesa kembali ke sarang mereka yang berada di pucuk-pucuk cemara, angin bertiup cukup kencang dari Laut Jawa, cuaca sore ini terasa kurang bersahabat, tidak mengherankan jika kawasan Pantai Kartini yang biasanya rame oleh suasana sore aktifitas manusia mendadak sepi laksana kota mati. Di sore yang terasa muram itu ternyata masih ada seorang anak adam yang tengah mencoba menikmati aura senja, seorang pria paruh baya dengan rambut yang mulai memutih, gurat wajahnya seakan menggambarkan kerasnya kehidupan yang telah dia jalani, sosok tegar yang oleh warga sekitar dipanggil dengan nama le’ Man.
Le’ Man, “ya, cukup panggil aku le’Man”. Begitulah ucapan yang keluar dari mulutnya ketika orang-orang bertanya tentang namanya. Baginya nama tidaklah begitu berarti, akan tetapi usaha manusia dalam menghidupkan nama yang melekat padanya merupakan usaha sejati menuju kebahagiaan hakiki. Sebuah filosofi sederhana yang dianut oleh seorang penjual penthol bakso semacam le’ Man. Kerasnya hidup pernah dia alami, dari problematika pribadi hingga berbagai permasalah komplek yang mendera rumah tangganya. Namun semua tadi hanya laksana uban yang ada di kepalanya, sesering apapun dia mencabut uban yang tumbuh di kepalanya, maka tetap akan muncul uban yang lain yang semakin memutihkan rambut kepalanya.
Sore ini tepat di pojok barat pantai kartini, le’ Man mematung mengamati tenggelamnya sang matahari. Di belakangnya terparkir si onthel, sepeda butut yang entah telah berapa tahun menjadi partner kerjanya dalam menjajakan penthol bakso di sudut-sudut kota Jepara. Sudah hampir satu bungkus rokok kretek yang dia habiskan sejak sore tadi.  Angin mengaburkan asap rokok yang sedari tadi dia hembuskan dari mulutnya yang menghitam. “Penthol baksoku masih banyak yang belum laku”, barangkali seperti itulah suara yang ada di benak le’ Man saat ini. Problematika rumah tangga terasa semakin rumit baginya, harga sembako mendadak melambung, belum ditambah dengan biaya listrik yang semakin mahal serta biaya-biaya rumah tangga lainnya. “Semoga istriku tetap menyambutku dengan senyuman tercantiknya walaupun aku tak membawa penghasilan yang memadai untuk sore ini”, satu harapan sederhana dari seorang le’ Man.
Sudah seharian tadi le’ Man mengayuh si onthel untuk menjajakan dagangannya, tapi nasib baik belum berpihak padanya. “penthol bakso, penthol bakso”, demikian suara tua le’ Man yang terus berkumandang, suara yang penuh pengharapan agar dagangannya laku keras hari ini. Apa daya, hujan deras yang seharian tadi mengguyur Jepara  telah membuat konsumennya yang sebagian adalah anak kecil lebih memilih beraktifitas di dalam rumah, di rumah yang sekiranya lebih bisa memberikan rasa hangat kepada mereka. Belum cukup keras usaha le’ Man dalam menjajakan dagangannya, dia harus rela menuntun si onthel sejauh 7 KM hanya untuk sekedar mencari tukang tambal ban yang bersedia membuka tempat usahanya di hari yang beku ini. Barangkali suasana damai yang ditawarkan oleh senja di pantai kartini inilah yang akhirnya membuatnya melabuhkan si onthel di bawah pohon akasia yang tumbuh di pinggir pantai.
Beban hidup disadari benar oleh le’ Man memang semakin menghimpit, seberat nikotin yang tiap hari menumpuk di paru-parunya sebagai dampak dari kecanduannya akan rokok. Namun takkan pernah le’ Man biarkan dirinya kalah oleh nasib. “Nasib takkan kubiarkan menguasaiku, tapi akulah yang akan menguasai nasib. Nasib takkan kubiarkan menuntunku dalam hidup, tapi akulah yang akan menuntun nasib kedalam jalanku”, begitulah gumaman ringan yang terucap oleh le’ Man disela hembusan asap rokoknya. Sore ini memang terasa istimewa baginya, seistimewa harapan-harapannya akan kesuksesan hidup yang pernah dia impikan sewaktu muda. Masa muda adalah masa yang penuh gairah baginya, dia biarkan dirinya bermimpi setinggi langit tentang kesuksesan, dia biarkan dirinya bermimpi seindah mungkin tentang keindahan duniawi. Namun dalam bermimpi dia mengaku kalah oleh nasib. Perputaran waktu telah membuka matanya bahwa kesuksesan merupakan mimpi yang butuh pengorbanan besar untuk meraihnya, kesuksesan hanya ada dalam mimpi untuknya. Perenungan singkat telah membawanya dalam satu kesimpulan, “mungkin aku belum mampu meraih kesuksesan duniawi dalam hidup ini, namun takkan kubiarkan nasib mengalahkanku untuk mensukseskan orang lain”. Satu simpul senyuman tersungging di wajahnya, senyuman yang penuh dengan ejekan atas nasib. “Kubiarkan kau membelenggu mimpiku, tapi takkan kubiarkan kau mengubur mimpi anak-anakku”, teriak le’ Man dikala matahari semakin tenggelam. Anak-anaknya, ya, anak-anaknya. Baginya anak merupakan reinkarnasi dari mimpi masa mudanya, oleh karena itu le’ Man rela mengorbankan tubuhnya yang semakin renta untuk terus melanjutkan pergulatan melawan nasib. Kedua anaknya telah mewarisi mimpi-mimpinya, takkan dia biarkan nasib membelenggu mimpi mereka. Satu mimpinya yang takkan mungkin padam, “aku harus bisa membuat nasib bertekuk lutut kepada kedua anakku, akan aku lihat suatu hari nanti, kedua anakku meraih kesuksesan yang mereka cita-citakan”.
Deburan ombak yang menyapu kakinya menyadarkan le’ Man dari lamunannya, segera dia menaiki si onthel dan mengayuhnya menuju ke rumah, ke gubuk tua di kampung nelayan, tempat dimana si sulung dan si bungsu telah menunggunya, menunggu untuk penthol bakso yang belum terjual. Kini si sulung dan si bungsu adalah mimpi-mimpinya, mimpi masa muda yang sempat tertunda. Besar harapannya kelak agar kedua anaknya menjadi orang paling kaya di pulau Jawa, satu mimpi yang sah-sah saja bagi le’ Man, seorang pemimpi tua. Dengan cepat dia mengayuh si onthel, tak sabar dia untuk berjumpa dengan keluarganya. Sambil berharap agar nasib baik mengiringinya, kembali le’ Man berteriak “penthol bakso, penthol bakso”.

1 komentar: