Senja semakin jingga, mataharipun
bersiap kembali ke peraduan, burung camar tergesa kembali ke sarang mereka yang
berada di pucuk-pucuk cemara, angin bertiup cukup kencang dari Laut Jawa, cuaca
sore ini terasa kurang bersahabat, tidak mengherankan jika kawasan Pantai Kartini yang biasanya rame oleh suasana sore aktifitas manusia mendadak sepi
laksana kota mati. Di sore yang terasa muram itu ternyata masih ada seorang
anak adam yang tengah mencoba menikmati aura senja, seorang pria paruh baya
dengan rambut yang mulai memutih, gurat wajahnya seakan menggambarkan kerasnya
kehidupan yang telah dia jalani, sosok tegar yang oleh warga sekitar dipanggil
dengan nama le’ Man.
Le’ Man, “ya, cukup panggil aku le’Man”.
Begitulah ucapan yang keluar dari mulutnya ketika orang-orang bertanya tentang
namanya. Baginya nama tidaklah begitu berarti, akan tetapi usaha manusia dalam
menghidupkan nama yang melekat padanya merupakan usaha sejati menuju
kebahagiaan hakiki. Sebuah filosofi sederhana yang dianut oleh seorang penjual
penthol bakso semacam le’ Man. Kerasnya hidup pernah dia alami, dari
problematika pribadi hingga berbagai permasalah komplek yang mendera rumah
tangganya. Namun semua tadi hanya laksana uban yang ada di kepalanya, sesering
apapun dia mencabut uban yang tumbuh di kepalanya, maka tetap akan muncul uban
yang lain yang semakin memutihkan rambut kepalanya.
Sore ini tepat di pojok barat pantai
kartini, le’ Man mematung mengamati tenggelamnya sang matahari. Di belakangnya
terparkir si onthel, sepeda butut yang entah telah berapa tahun menjadi partner
kerjanya dalam menjajakan penthol bakso di sudut-sudut kota Jepara. Sudah
hampir satu bungkus rokok kretek yang dia habiskan sejak sore tadi. Angin mengaburkan asap rokok yang sedari tadi
dia hembuskan dari mulutnya yang menghitam. “Penthol baksoku masih banyak yang
belum laku”, barangkali seperti itulah suara yang ada di benak le’ Man saat
ini. Problematika rumah tangga terasa semakin rumit baginya, harga sembako
mendadak melambung, belum ditambah dengan biaya listrik yang semakin mahal
serta biaya-biaya rumah tangga lainnya. “Semoga istriku tetap menyambutku
dengan senyuman tercantiknya walaupun aku tak membawa penghasilan yang memadai
untuk sore ini”, satu harapan sederhana dari seorang le’ Man.
Sudah seharian tadi le’ Man mengayuh si
onthel untuk menjajakan dagangannya, tapi nasib baik belum berpihak padanya.
“penthol bakso, penthol bakso”, demikian suara tua le’ Man yang terus
berkumandang, suara yang penuh pengharapan agar dagangannya laku keras hari
ini. Apa daya, hujan deras yang seharian tadi mengguyur Jepara telah membuat konsumennya yang sebagian
adalah anak kecil lebih memilih beraktifitas di dalam rumah, di rumah yang
sekiranya lebih bisa memberikan rasa hangat kepada mereka. Belum cukup keras
usaha le’ Man dalam menjajakan dagangannya, dia harus rela menuntun si onthel
sejauh 7 KM hanya untuk sekedar mencari tukang tambal ban yang bersedia membuka
tempat usahanya di hari yang beku ini. Barangkali suasana damai yang ditawarkan
oleh senja di pantai kartini inilah yang akhirnya membuatnya melabuhkan si
onthel di bawah pohon akasia yang tumbuh di pinggir pantai.
Beban hidup disadari benar oleh le’ Man
memang semakin menghimpit, seberat nikotin yang tiap hari menumpuk di
paru-parunya sebagai dampak dari kecanduannya akan rokok. Namun takkan pernah
le’ Man biarkan dirinya kalah oleh nasib. “Nasib takkan kubiarkan menguasaiku,
tapi akulah yang akan menguasai nasib. Nasib takkan kubiarkan menuntunku dalam
hidup, tapi akulah yang akan menuntun nasib kedalam jalanku”, begitulah gumaman
ringan yang terucap oleh le’ Man disela hembusan asap rokoknya. Sore ini memang
terasa istimewa baginya, seistimewa harapan-harapannya akan kesuksesan hidup
yang pernah dia impikan sewaktu muda. Masa muda adalah masa yang penuh gairah
baginya, dia biarkan dirinya bermimpi setinggi langit tentang kesuksesan, dia
biarkan dirinya bermimpi seindah mungkin tentang keindahan duniawi. Namun dalam
bermimpi dia mengaku kalah oleh nasib. Perputaran waktu telah membuka matanya
bahwa kesuksesan merupakan mimpi yang butuh pengorbanan besar untuk meraihnya,
kesuksesan hanya ada dalam mimpi untuknya. Perenungan singkat telah membawanya
dalam satu kesimpulan, “mungkin aku belum mampu meraih kesuksesan duniawi dalam
hidup ini, namun takkan kubiarkan nasib mengalahkanku untuk mensukseskan orang
lain”. Satu simpul senyuman tersungging di wajahnya, senyuman yang penuh dengan
ejekan atas nasib. “Kubiarkan kau membelenggu mimpiku, tapi takkan kubiarkan
kau mengubur mimpi anak-anakku”, teriak le’ Man dikala matahari semakin
tenggelam. Anak-anaknya, ya, anak-anaknya. Baginya anak merupakan reinkarnasi
dari mimpi masa mudanya, oleh karena itu le’ Man rela mengorbankan tubuhnya
yang semakin renta untuk terus melanjutkan pergulatan melawan nasib. Kedua
anaknya telah mewarisi mimpi-mimpinya, takkan dia biarkan nasib membelenggu
mimpi mereka. Satu mimpinya yang takkan mungkin padam, “aku harus bisa membuat
nasib bertekuk lutut kepada kedua anakku, akan aku lihat suatu hari nanti,
kedua anakku meraih kesuksesan yang mereka cita-citakan”.
Deburan ombak yang menyapu kakinya
menyadarkan le’ Man dari lamunannya, segera dia menaiki si onthel dan
mengayuhnya menuju ke rumah, ke gubuk tua di kampung nelayan, tempat dimana si
sulung dan si bungsu telah menunggunya, menunggu untuk penthol bakso yang belum
terjual. Kini si sulung dan si bungsu adalah mimpi-mimpinya, mimpi masa muda
yang sempat tertunda. Besar harapannya kelak agar kedua anaknya menjadi orang
paling kaya di pulau Jawa, satu mimpi yang sah-sah saja bagi le’ Man, seorang
pemimpi tua. Dengan cepat dia mengayuh si onthel, tak sabar dia untuk berjumpa
dengan keluarganya. Sambil berharap agar nasib baik mengiringinya, kembali le’
Man berteriak “penthol bakso, penthol bakso”.
Mantaps Broo Info nya.
BalasHapusGue demen bgt. Sukses ya Broo . . .