Awal abad XX bagi Bangsa Indonesia
merupakan masa pencerahan akan kesadaran nasional. Kesadaran nasional yang
merasuk dalam alam pikir Bangsa Indonesia telah menjelma menjadi cambuk
perubahan, utamanya disekitaran kaum intelektual muda. Nasionalisme sebagai
manifestasi kesadaran bernegara (semangat bernegara) tumbuh subur dalam pemikiran
intelektual muda Indonesia. Nasionalisme menjadi landasan ideologi bagi
intelektual muda yang mendambakan terwujudnya Indonesia merdeka, hal itu
diupayakan melalui berbagai cara, salah satunya adalah dengan mendirikan
organisasi-organisasi kebangsaan. Organisasi yang didirikan tidak hanya
terbatas dalam lingkup teritori tertentu maupun kesukuan, perkembangan
organisasi kebangsaan pada awal abad XX layaknya jamur di musim penghujan. Atas
dasar itulah pada awal abad XX hingga masa kemerdekaan disebut sebagai masa
pergerakan nasional.
Masa
pergerakan nasional di Indonesia dimotori oleh kaum intelektual muda, atau
dalam hal ini adalah golongan priyayi rendahan. Tokoh-tokoh priyayi rendahan
ini seperti Soekarno, Sutomo, Wahidin Sudirohusodo, Cipto Mangunkusumo, Moh.
Hatta, Sutan Syahrir, H.O.S. Tjokroaminoto dan tokoh-tokoh pergerakan lainnya
merupakan golongan intelektual muda yang mendapatkan pendidikan lebih tinggi
dari masyarakat Indonesia lainnya. Karena latar belakang pendidikan yang berbeda
dari rakyat kebanyakan, maka golongan inilah yang sadar bahwa Indonesia (atau
pada saat itu masih Nederlands-Indie) sedang dalam penjajahan yang sebenarnya
tidak layak dilakukan oleh suatu bangsa terhadap bangsa lain.
Pergerakan
nasional merupakan titik puncak masyarakat Indonesia yang sudah cerdas dan
tercerahkan serta telah mencapai kesempurnaan dalam pola fikir dimana mereka
sadar bahwa untuk mencapai Indonesia merdeka tidak hanya dengan otot tetapi
juga dengan jalan organisasi masa. Pergerakan nasional terdiri dari beberapa
fase : yang pertama fase masa perkembangan. Fase ini merupakan awal
terbentuknya organisasi-organisasi yang menjadi pelopor masuknya perjuangan
bangsa Indonesia pada masa pergerakan. Meskipun secara umum tujuan organisasi
pada masa ini masih tertuju pada kebudayaan dan pendidikan. Fase kedua adalah
masa radikal, fase ini ditandai dengan munculnya organisasi-organisasi yang
sudah jelas menginginkan Indonesia merdeka dan bertindak Non-Kooperasi terhadap
pemerintah. Puncaknya pada tahun 1926 ketika terjadi pemberontakan Partai
Komunis Indonesia. Fase yang terakhir adalah masa bertahan. Masa ini muncul
karena kondisi ekonomi dunia kacau balau, karena Peristiwa Malaise di Amerika
Serikat pada tanggal 8 Oktober 1929. Fase ini merupakan fase yang lebih banyak
mendirikan fraksi-fraksi nasional dan gabungan partai politik, serta beberapa
tuntutan yang diajukan kepada pemerintah Belanda.
Pada
masa pergerakan nasional tersebut tampak jelas bahwa intelektual muda memegang
peran penting dalam setiap arus perubahan yang terjadi di Indonesia. Golongan
intelektual adalah pelopor beralihnya masa berjuang kedaerahan menjadi berjuang
dengan otak dan organisasi. Merekalah yang sadar bahwa suatu bangsa menjajahan
bangsa lain itu sebenarnya tidak pantas. Merekalah yang sadar bahwa perlunya
persatuan dan kesatuan untuk mencapai tujuan Indonesia merdeka, dan merekalah
yang mencetuskan sumpah pemuda yang mengakui dirinya berbangsa dan bernegara
Indonesia. Kaum Intelektual-lah yang mendirikan organisasi-organisasi dalam
masa pergerakan nasional. Selain itu juga, dua orang kaum intelektual-lah yang telah
memproklamasikan kemerdekaan Indonesia dan menjadi presiden serta wakil
presiden Indonesia yang pertama, yaitu Soekarno dan Hatta.
Jelas
sudah bahwa pemuda pada masa pergerakan nasional merupakan penggerak perubahan.
Pemuda juga merupakan pembaharu sendi-sendi kehidupan masyarakat, pemuda jualah
yang telah menata ulang adat lama masa kolonial. Hingga akhirnya terdapat
asumsi yang menyatakan bahwa pemuda sebagai penggerak revolusi. Namun demikian
muncul satu pertanyaan, dalam setiap masa terdapat jiwa jaman yang menjadi
bahan bakar bagi pemuda untuk melakukan perubahan. Berbeda dengan masa sebelum
kemerdekaan, masa setelah kemerdekaan sejatinya memiliki tantangan tersendiri
bagi pemuda untuk benar-benar mewujudkan pembaharuan di Indonesia, kaitannya
juga untuk mengisi kemerdekaan itu sendiri. Tantangan pemuda paska kemerdekaan
tidak lagi berupa tantangan fisik semata, tapi lebih jauh lagi tantangan
tersebut berupa perang pemikiran, utamanya di era globalisasi ini.
Globalisasi
pada hakekatnya merupakan satu proses mendunianya berbagai aspek kehidupan.
Globalisasi telah menghilangkan batas-batas kebangsaan, kenegaraan, etnik,
sosial, budaya, dan ekonomi. Globalisasi juga menyebabkan terjadinya benturan
nilai-nilai kehidupan yang mana hal ini membawa implikasi bagi terciptanya
dominasi si kuat atas si lemah. Sehingga lebih jauh globalisasi dapat
mengakibatkan tercerabutnya nilai-nilai lokalitas suatu bangsa. Bagi Bangsa Indonesia,
suka atau tidak suka pada faktanya telah masuk ke dalam arus globalisasi tersebut.
Sejenak
menengok pada masa pergerakan nasional, globalisasi dewasa ini layaknya kaum
kolonialis yang menjajah Indonesia, akan tetapi dengan pola yang berbeda. Dulu
kaum kolonialis dalam prakteknya harus tinggal dan berada di wilayah jajahan
mereka, namun dalam globalisasi hal tersebut bukanlah satu keharusan. Walaupun
memiliki dampak positif bagi Bangsa Indonesia, disadari atau tidak arus
globalisasi telah menyebabkan terjadinya perubahan kultur sosial dalam
masyarakat. Hal ini apabila dibiarkan berlarut tentunya dapat memperlemah
nilai-nilai lokalitas Bangsa Indonesia, bahkan menghilangkannya. Berkaca dari
hal tersebut pemuda Indonesia sudah seharusnya kembali melakukan satu tindakan
sebagai upaya untuk meminimalisir dampak negatif globalisasi. Sudah seharusnya
pemuda Indonesia menjadi pemuda progresif seperti halnya pada masa pergerakan
nasional dulu, yaitu pemuda yang berupaya menciptakan perbaikan dalam satu
tatanan yang secara perlahan telah terkikis nilai-nilai lokalitasnya.
Pertanyaannya, mampukah pemuda Indonesia mewujudkannya????
Daftar Referensi
- Kartodirdjo, Sartono. 1993. Pengantar Sejarah Indonesia Baru, Sejarah Pergerakan Nasional Jilid II.
Jakarta : Gramedia.
- Muljana, Slamet. 2008. Kesadaran
Nasional, Dari Kolonialisme Sampai Kemerdekaan. Yogyakarta: LKiS
- Poesponegoro, Marwati Djoenoed dan Nugroho Notosusanto.
1983. Sejarah Nasional Indonesia Jilid V.
Jakarta : Balai Pustaka.
Mantaps Broo Info nya.
BalasHapusGue demen bgt. Sukses ya Broo . . .