Indonesia
sebagai satu kesatuan bangsa memiliki sejarah panjang yang terekam dalam memori
kolektif masyarakatnya. Sejarah tersebut tidak hanya memuat satu peristiwa,
namun lebih berupa rangkaian peristiwa yang menerangkan tentang nilai-nilai
persatuan, kebangsaan, dan kepahlawanan dalam menegakkan berdirinya Negara
Kesatuan Republik Indonesia. Dewasa ini banyak peristiwa sejarah di Indonesia
yang dijadikan sorotan terkait dengan keunikan dari nilai-nilai yang terdapat
dalam suatu peristiwa sejarah. Terkait
dengan hal tersebut, kurun waktu tahun 1945 hingga 1950 merupakan satu masa
sejarah yang paling banyak mendapat sorotan oleh masyarakat Indonesia itu
sendiri.
Selama kurun waktu 1945 sampai 1950,
Indonesia menghadapi satu masa perjuangan untuk menegakkan berdirinya Republik
yang kala itu masih berusia seumur jagung. Dalam kurun waktu tersebut,
perjuangan untuk menegakkan Republik berlangsung melalui perjuangan fisik dan
diplomasi. Pada kurun
waktu1945-1949, istilah “revolusi fisik” dan “revolusi Indonesia” dipergunakan
secara luas untuk menyebut perjuangan dan pergolakan yang berlangsung di
seantero wilayah nusantara.
Mengenai jalannya revolusi di Indonesia, Ricklefs
(1991:317) menyampaikan bahwa revolusi yang menjadi alat tercapainya
kemerdekaan bukan hanya merupakan suatu
kisah sentral dalam sejarah Indonesia, melainkan suatu unsur yang kuat
dalam persepsi bangsa Indonesia itu sendiri. Semua usaha yang tidak menentu
untuk mencari identitasi-identitas baru dan untuk suatu tatanan sosial yang
lebih adil tampaknya membuahkan hasil pada masa-masa sesudah Perang Dunia II.
Masa revolusi
fisik dalam keyakinan banyak pihak dianggap sebagai suatu zaman yang merupakan
kelanjutan dari masa lampau. Bagi para Pemimpin Revolusi Indonesia, revolusi
bertujuan untuk melengkapi dan menyempurnakan proses penyatuan dan kebangkitan
nasional yang telah dimulai empat dasawarsa sebelumnya (Ricklefs, 1991:318).
Akan tetapi penyatuan nasional itu sendiri sebenarnya masih belum bisa tercapai
selama masa revolusi fisik. Mengenai ketidaktercapaian persatuan nasional
tersebut, Ricklefs (1991:319) mengemukakan bahwasanya sistem perhubungan yang
buruk, perpecahan-perpecahan internal, lemahnya kepemimpinan pusat, dan
perbedaan kesukuan mengandung arti bahwa sebenarnya revolusi tersebut merupakan
satu kejadian yang terpotong-potong.
Perlu diingat
bahwa selama masa revolusi, Indonesia menghadapi banyak ancaman yang bisa
menyebabkan terjadinya disintegrasi bangsa. Ancaman-ancaman tersebut datang
tidak hanya dari Belanda, namun juga berasal dari beberapa Masyarakat Indonesia
yang tidak puas dengan kinerja pemerintah dalam menggerakkan revolusi. Berbagai
ancaman tersebut dalam catatan sejarah mengakibatkan terjadinya ketidakstabilan
kondisi politik, sosial, ekonomi, dan budaya.
Selama masa
revolusi fisik (1945-1950) Indonesia berada dalam kondisi “darurat perang”.
Kondisi-kondisi seperti inilah yang secara langsung maupun tidak langsung
berpengaruh terhadap perkembangan kehidupan sosial dan budaya masyarakat
Indonesia selama masa revolusi fisik. Ketidakstabilan kehidupan sosial
muncul di berbagai tempat diwilayah Indonesia. Ketidakstabilan tersebut muncul
sebagai akibat atas shock culture yang
dialami masyarakat Indonesia paska diproklamirkannya kemerdekaan.
Sebagaimana kita ketahui, pada masa kolonial status
warga adalah warga terjajah dan harus tunduk pada politik diskriminasi rasial,
ekonomi dan politik. Pola makan yang berubah, pola hidup yang berubah serta
tekanan-tekanan sosial ekonomi yang menghimpit menyebabkan perubahan mendasar
dalam aspek-aspek fisik maupun psikologi masyarakat. Dalam aspek fisik terlihat
kemiskinan endemis yang makin meluas, kesehatan yang merosot serta angka
kematian yang tinggi. Dalam apek nonfisik, terlihat kemiskinan mentalitas
akibat rongrongan dan ketakutan yang tidak proporsional, kegelisahan komunal
dan ketidaktentraman Kultural yang makin meningkat frekuensinya.
Referensi : M.C. Ricklefs (Sejarah Indonesia Modern)
Mantaps Broo Info nya.
BalasHapusGue demen bgt. Sukses ya Broo . . .